Selasa, 25 Februari 2014

Mengetik Cepat


BERSYUKUR SETIAP SAAT


Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin sudah lima kali sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang bersuara dengan orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja : dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih bersih.
Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personafikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekali lagi bahwa ini tidak mengajarkan untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan “pahala” yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
“Terima kasih” tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut dari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit yang bisa membantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personafikasi dari sukses itu sendiri. Amin ...

Mengetik Cepat


BERSYUKUR SETIAP SAAT


Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin sudah lima kali sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang bersuara dengan orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja : dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih bersih.
Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personafikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekali lagi bahwa ini tidak mengajarkan untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan “pahala” yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
“Terima kasih” tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut dari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit yang bisa membantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personafikasi dari sukses itu sendiri. Amin ...

Minggu, 23 Februari 2014

PERS MASA ORDE LAMA DAN KEBEBASAN PERS



Di Masa Orde Lama

                        Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.  Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950.  Awl pembatasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional.
                        Pers di masa demokrasi terpimpin (1956-1966), tindakan tekanan terhadap pers terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta.  Upaya untuk pembatasan kebebasan pers tercermin  dari pidato Menteri Muda penerangan RI yaitu Maladi yang menyatakan .....Hak kebebasan individu disesuaikan denga hak kolektif seluruh bangsadalam melaksanakan kedaulatan rakyat.  Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin UUD 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa, moraldan kepribadian indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME. 
      


Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.




Pers pada masa Demokrasi Terpimpin
Pers di era orde lama dan orde baru dapat dikategorikan ke dalam periode kedua di mana kontrol Negara terhadap pers – meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni masih dapat terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia, diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar. Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan mulai



Kebebasan Pers Orde Lama dan Etika Komunikasi

Masa orde lama merupakan masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. Namun, sebenarnya sejarah perkembangan pers nasional telah jauh dimulai sebelum itu. Pers nasional, yang awalnya hanya berupa surat kabar dan radio, muncul sejak masa pergerakan dan masa penjajahan, karena itulah pers pada masa itu dikenal sebagai pers perjuangan karena pers menjadi alat untuk merebut kemerdekaan dari penjajah (Indra, 1991: p. 66).

Pers masa pergerakan dimulai sejak saat Belanda menjajah Indonesia, tepatnya sejak munculnya surat kabar pertama di Indonesia yang benar-benar dikelola oleh orang pribumi asli, yaitu harian Medan Prijaji yang merupakan pelopor perkembangan pers nasional, yang terbit pertama kali pada tanggal 1 Januari 1907 di Bandung. Selanjutnya, muncul pergerakan oleh kalangan intelektual modern yang berjuang dengan partai politik dan pers. Setelah pergerakan Budi Utomo muncul pada tanggal 20 Mei 1908, pers nasional mulai banyak bermunculan dan digunakan sebagai corong dari organisasi pergerakan pemuda Indonesia. Karena itulah, pers masa pergerakan ini tidak dapat dipisahkan dari momen kebangkitan nasional. Organisasi lain selain Budi Utomo yang juga menerbitkan pers nasional adalah Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan Sarekat Indonesia. Pada masa ini berdiri pula kantor berita nasional pertama, yang bernama Antara, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1937. Namun, karena pers masa pergerakan bersifat anti penjajahan, masa pemerintah Hindia Belanda melakukan sejumlah usaha untuk menekan dan menghentikan aktivitas pers, salah satunya ialah dengan menutup usaha penerbitan pers pergerakan tersebut. Gubernur Jenderal menggunakan kekuasaannya dengan hak eksorbitan (exorbitante recht) dan melarang penerbitan koran, atau yang disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Persbreidel-Ordonantie 7 September 1931 seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 nomor 394 jo Staatsblad 1931 nomor 44. Dalam peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untk membela diri ataupun meminta keputusan dari tingkat yang lebih tinggi (Almanak Pers Indonesia 1954-1955, Lembaga Pers dan Pendapat umum).

Kewenangan ini memaksa para pejuang nasional yang berani kritis di dalam pers maupun partai politik, dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, dan koran-koran anti penjajahan Belanda berhenti terbit. Selain itu, pemerintah Belanda menetapkan ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal yang disebut haatzai artikelen, atau pasal-pasal “karet”, karena sangat longgar dalam interpretasinya. Pembuktian hukum untuk pasal-pasal pidana ini tidak melalui uji material atas perbuatan pelaku atau efeknya, tetapi melalui perkataan atau tulisan yang diinterpretasikan secara subyektif oleh penuntut yang mewakili pemerintah Belanda (Siregar, 2008: 4).

Perkembangan pers nasional selanjutnya terjadi pada masa penjajahan Jepang. Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar, karena pers pergerakan yang tadinya berdiri sendiri-sendiri dipaksa bergabung menjadi satu untuk tujuan yang sama, yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers nasional pada masa itu berubah sifat menjadi pro Jepang dan hanya menjadi alat propaganda bagi pemerintah Jepang. Namun, di akhir penjajahan Jepang, pers nasional, khususnya radio, memiliki peran yang sangat besar dalam menyebarluaskan berita kekalahan Jepang di Perang Dunia II sehingga Indonesia dapat lebih matang dalam mempersiapkan kemerdekaannya (Latief, 1980: p. 9).

Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berusaha menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945, harian Indonesia Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta (Semma, 2008: p.113).

Pada tahun 1945 sampai tahun 1949, Indonesia juga mengalami masa revolusi fisik, dimana Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia. Sehingga, pada saat itu pers Indonesia harus bersaing dengan Pers NICA yang diterbitkan oleh pihak sekutu dan Belanda. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda, Belanda menerbitkan beberapa surat kabar berbahasa Indonesia untuk mempengaruhi rakyat Indonesia agar mau menerima kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu harian Fadjar di Jakarta, Soeloeh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, serta harian Padjadjaran dan Persatoean di Bandung. Bulan Desember 1948, Indonesia mencetak 124 surat kabar dengan oplah 405.000 eksemplar, namun pada bulan April tahun 1949, jumlahnya menurun menjadi 81 surat kabar dengan oplah 283.000 eksemplar saja karena adanya Agresi Militer Belanda (Semma, 2008: p.114).

Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959, Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini, pers nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi wartawan politik. Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong partai politik. Setiap bentuk pers nasional umumnya mewakili aliran politik tertentu yang berbeda. Pada masa ini terjadi peningkatan jumlah surat kabar Indonesia. Pada tahun 1950, terdapat 67 surat kabar dengan 383.000 eksemplar, lalu pada tahun 1957 terdapat 96 surat kabar dengan 888.950 eksemplar. Empat surat kabar besar di Indonesia pada masa itu adalah harian Rakyat (PKI) dengan 55.000 eksemplar, Pedoman (PSI) dengan 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia (PNI) dengan 40.000 eksemplar, dan harian Abadi (Masyumi) dengan 34.000 eksemplar (Semma, 2008: p.115).
Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus mendukung kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan manipol dan setiap kebijakan pemerintah (Semma, 2008: p. 113).

Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit). Agar ijin tersebut diperoleh, pers harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto politik Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan menandatangani dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban untuk setia pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik Soekarno (Semma, 2008: p.105).   

Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno.  Wartawan Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers manipol. Setelah harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden Soekarno (Semma, 2008: p.106).

Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor berita Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/1962 (Semma, 2008: p.106).

Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis,  seiring dengan semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian sampai pada taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-komunis. Surat kabar milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat milik PKI melawan harian Merdeka milik B.M.  Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak PKI karena menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan daripada kaum nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang tergabung dalam BPS dilarang terbit (Semma, 2008: p.106).

Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan  Nomor 29 yang menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang ada. Aturan tersebut merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah yang pertama mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit pertama kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya berjumlah 692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965, surat kabar di Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar (Semma, 2008: p. 107).

Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah menayangkan acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya studio khusus dan keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12 November 1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan sentral dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional tentang budaya nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah untuk propaganda politik ke dalam dan ke luar negeri, serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh pemegang kekuasaan (Sudibyo, 2004: 279-281).

Jika dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu. Sejak masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang dan mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah berusaha mengontrol dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib dimiliki setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin menerbitkan surat kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno (Semma, 2008).

Disinilah, etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu, yang artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan dibreidel? Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi kelangsungan surat kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar Lubis memilih menolak menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman, salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa menandatangani dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap hidup. Namun ironisnya, tak berapa lama kemudian, pada bulan Januari tahun 1961, harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap lebih memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang saat itu sedang menjalani masa penahanan dan merupakan orang yang paling menentang keberadaan dokumen tersebut kemudian memberikan informasi kepada International Press Institute (IPI) bahwa Rosihan Anwar telah menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar untuk sementara waktu dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI, Rosihan berkilah bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak penghalang dan tetap menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup (Semma, 2008: p. 105-106).

Jika ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang dipelajari dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan merupakan etika komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde lama dapat dibedah dari empat bahan pembentuk etika komunikasi.

Pertama, berdasarkan standar moral,  pada era orde lama, dapat dilihat bahwa standar moral atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu, kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga, para jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi mereka ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing dan kebebasan pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi materi jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada publik.
Kedua, melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia pada masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari etika komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya ancaman kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu juga bisa berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir, berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter, jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak otoritas pemerintah tersebut.