Di
Masa Orde Lama
Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers
adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini
kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awl pembatasan pers adalah
efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun
pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers
nasional.
Pers di masa demokrasi terpimpin (1956-1966), tindakan tekanan terhadap
pers terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat Kabar Republik,
Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta. Upaya untuk pembatasan
kebebasan pers tercermin dari pidato Menteri Muda penerangan RI yaitu
Maladi yang menyatakan .....Hak kebebasan individu disesuaikan denga hak
kolektif seluruh bangsadalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak
berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang
dijamin UUD 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa,
moraldan kepribadian indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Pers dimasa
Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri
Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14,
antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar,
majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang
diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa
perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith
dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan
badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih
sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan
secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah
dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini
merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah
percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung
politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan
penekanan kepada pers.
Pers
pada masa Demokrasi Terpimpin
Pers di era orde lama dan orde baru dapat
dikategorikan ke dalam periode kedua di mana kontrol Negara terhadap pers –
meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni masih dapat
terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan
kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua
fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan
surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu
bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam
tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat panas. Pertikaian dengan
Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di beberapa tempat
dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi. Sebagai
upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh
surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar
berbahasa Indonesia, diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang),
Pelita Rakyat (Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa
itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman, dikarenakan
kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. Pada Desember 1948 di
Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar.
Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras
283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang
terjadi pada Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi
5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat
semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan mulai
Kebebasan Pers Orde Lama dan Etika
Komunikasi
Masa
orde lama merupakan masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang berlangsung dari
tahun 1945 hingga tahun 1966. Namun, sebenarnya sejarah perkembangan pers
nasional telah jauh dimulai sebelum itu. Pers nasional, yang awalnya hanya
berupa surat kabar dan radio, muncul sejak masa pergerakan dan masa penjajahan,
karena itulah pers pada masa itu dikenal sebagai pers perjuangan karena pers
menjadi alat untuk merebut kemerdekaan dari penjajah (Indra, 1991: p. 66).
Pers masa pergerakan dimulai sejak saat
Belanda menjajah Indonesia, tepatnya sejak munculnya surat kabar pertama di
Indonesia yang benar-benar dikelola oleh orang pribumi asli, yaitu harian Medan Prijaji yang merupakan pelopor
perkembangan pers nasional, yang terbit pertama kali pada tanggal 1 Januari
1907 di Bandung. Selanjutnya, muncul pergerakan oleh kalangan intelektual
modern yang berjuang dengan partai politik dan pers. Setelah pergerakan Budi
Utomo muncul pada tanggal 20 Mei 1908, pers nasional mulai banyak bermunculan
dan digunakan sebagai corong dari organisasi pergerakan pemuda Indonesia.
Karena itulah, pers masa pergerakan ini tidak dapat dipisahkan dari momen
kebangkitan nasional. Organisasi lain selain Budi Utomo yang juga menerbitkan
pers nasional adalah Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan Sarekat
Indonesia. Pada masa ini berdiri pula kantor berita nasional pertama, yang
bernama Antara, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1937. Namun, karena pers masa
pergerakan bersifat anti penjajahan, masa pemerintah Hindia Belanda melakukan
sejumlah usaha untuk menekan dan menghentikan aktivitas pers, salah satunya
ialah dengan menutup usaha penerbitan pers pergerakan tersebut. Gubernur
Jenderal menggunakan kekuasaannya dengan hak eksorbitan (exorbitante recht) dan melarang penerbitan koran, atau yang disebut
sebagai Persbreidel Ordonnantie. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Persbreidel-Ordonantie 7 September
1931 seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 nomor 394 jo Staatsblad 1931 nomor
44. Dalam peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu,
disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat
kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak
pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untk membela
diri ataupun meminta keputusan dari tingkat yang lebih tinggi (Almanak Pers
Indonesia 1954-1955, Lembaga Pers dan Pendapat umum).
Kewenangan ini memaksa para pejuang
nasional yang berani kritis di dalam pers maupun partai politik, dibuang ke
Digul dan daerah-daerah lain, dan koran-koran anti penjajahan Belanda berhenti
terbit. Selain itu, pemerintah Belanda menetapkan ketentuan hukum pidana dalam
pasal-pasal yang disebut haatzai artikelen, atau pasal-pasal “karet”, karena
sangat longgar dalam interpretasinya. Pembuktian hukum untuk pasal-pasal pidana
ini tidak melalui uji material atas perbuatan pelaku atau efeknya, tetapi
melalui perkataan atau tulisan yang diinterpretasikan secara subyektif oleh
penuntut yang mewakili pemerintah Belanda (Siregar, 2008: 4).
Perkembangan pers nasional selanjutnya
terjadi pada masa penjajahan Jepang. Pada masa ini, pers nasional mengalami
kemunduran besar, karena pers pergerakan yang tadinya berdiri sendiri-sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu untuk tujuan yang sama, yaitu mendukung
kepentingan Jepang. Pers nasional pada masa itu berubah sifat menjadi pro
Jepang dan hanya menjadi alat propaganda bagi pemerintah Jepang. Namun, di
akhir penjajahan Jepang, pers nasional, khususnya radio, memiliki peran yang
sangat besar dalam menyebarluaskan berita kekalahan Jepang di Perang Dunia II
sehingga Indonesia dapat lebih matang dalam mempersiapkan kemerdekaannya
(Latief, 1980: p. 9).
Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada
tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas
percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berusaha menerbitkan surat kabar
sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945,
harian Indonesia Merdeka pada tanggal
4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh
Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta (Semma,
2008: p.113).
Pada tahun 1945 sampai tahun 1949,
Indonesia juga mengalami masa revolusi fisik, dimana Belanda berusaha kembali
menjajah Indonesia. Sehingga, pada saat itu pers Indonesia harus bersaing
dengan Pers NICA yang diterbitkan oleh pihak sekutu dan Belanda. Sebagai upaya
serangan balik terhadap propaganda anti Belanda, Belanda menerbitkan beberapa
surat kabar berbahasa Indonesia untuk mempengaruhi rakyat Indonesia agar mau
menerima kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu harian Fadjar di Jakarta, Soeloeh Rakyat di Semarang, Pelita
Rakyat di Surabaya, serta harian Padjadjaran
dan Persatoean di Bandung. Bulan
Desember 1948, Indonesia mencetak 124 surat kabar dengan oplah 405.000
eksemplar, namun pada bulan April tahun 1949, jumlahnya menurun menjadi 81
surat kabar dengan oplah 283.000 eksemplar saja karena adanya Agresi Militer
Belanda (Semma, 2008: p.114).
Setelah berhasil mempertahankan
kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959, Indonesia menetapkan
menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini, pers nasional
sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi wartawan
politik. Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari pers
perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong partai politik. Setiap
bentuk pers nasional umumnya mewakili aliran politik tertentu yang berbeda.
Pada masa ini terjadi peningkatan jumlah surat kabar Indonesia. Pada tahun
1950, terdapat 67 surat kabar dengan 383.000 eksemplar, lalu pada tahun 1957
terdapat 96 surat kabar dengan 888.950 eksemplar. Empat surat kabar besar di
Indonesia pada masa itu adalah harian Rakyat
(PKI) dengan 55.000 eksemplar, Pedoman (PSI)
dengan 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia
(PNI) dengan 40.000 eksemplar, dan harian Abadi
(Masyumi) dengan 34.000 eksemplar (Semma, 2008: p.115).
Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri masa
Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Masa
ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional
menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus
mendukung kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai
alat penggerak aksi massa dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat
agar mau mendukung pelaksanaan manipol dan setiap kebijakan pemerintah (Semma,
2008: p. 113).
Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers
melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya mengkonsolidasi kekuasaannya,
Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha membuat pers menjadi jinak
dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap
penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT
(Surat Ijin Terbit). Agar ijin tersebut diperoleh, pers harus memenuhi
persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto politik Soekarno, serta
turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme,
dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan menandatangani
dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban untuk setia
pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah
menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik
Soekarno (Semma, 2008: p.105).
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada
dalam pengepungan manipol Soekarno.
Wartawan Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin
sebagai pers manipol. Setelah harian Indonesia
Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara
di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan
Hamid, dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan
oleh Presiden Soekarno (Semma, 2008: p.106).
Soekarno kemudian menempatkan percetakan
swasta di bawah pengawasan pemerintah berdasarkan Peraturan Administrasi
Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963, Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri Penerangan untuk
menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor berita
Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/1962 (Semma, 2008:
p.106).
Kantor berita Antara selanjutnya berada
dalam pengaruh kaum komunis, seiring
dengan semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian
sampai pada taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat
pro-komunis. Surat kabar milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964
dan terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian
mendorong para wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan
Pendukung Soekarno) gigih menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada
isi berita harian Rakyat milik PKI melawan harian Merdeka milik B.M. Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak
PKI karena menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan
daripada kaum nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17
surat kabar yang tergabung dalam BPS dilarang terbit (Semma, 2008: p.106).
Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan
Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri
Penerangan mengeluarkan Peraturan Nomor
29 yang menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang
ada. Aturan tersebut merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar
agar partai-partai politiklah yang pertama mengontrol surat kabar. Karena
itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin menerbitkan surat kabar Katholik.
PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk sebagai pemimpin redaksi
dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit pertama kali. Surat
kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya berjumlah
692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965, surat
kabar di Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar (Semma, 2008:
p. 107).
Pada masa ini pula, muncul saluran
televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang awalnya digunakan untuk
menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah menayangkan acara tersebut,
TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya studio khusus dan
keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung Karno,
pemerintah membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang
memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam
siaran TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12 November 1962, TVRI mulai
mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan sentral dalam proses
komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk mempromosikan program-program
pemerintah, memperteguh konsensus nasional tentang budaya nasional, pentingnya
pembangunan, tertib hukum, dan menjaga kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih
banyak diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah untuk propaganda politik
ke dalam dan ke luar negeri, serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli
informasi oleh pemegang kekuasaan (Sudibyo, 2004: 279-281).
Jika dilihat dari sejarah perkembangan
pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga tahun 1966, terjadi pergeseran
dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam membentuk nasionalisme
rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut kemerdekaan,
menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu.
Sejak masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin
terkekang dan mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah
Indonesia. Pemerintah berusaha mengontrol dan membatasi pers dengan
mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib dimiliki setiap usaha penerbitan
pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin menerbitkan surat kabarnya
diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers
untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno (Semma, 2008).
Disinilah, etika jurnalistik para pekerja
pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih untuk mempertahankan ideologi
mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu, yang artinya mereka
harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan dibreidel?
Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi kelangsungan
surat kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar
Lubis memilih menolak menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara
selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan
Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman,
salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa
menandatangani dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap
hidup. Namun ironisnya, tak berapa lama kemudian, pada bulan Januari tahun
1961, harian Pedoman dilarang terbit
karena dianggap lebih memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa
itu. Mochtar Lubis yang saat itu sedang menjalani masa penahanan dan merupakan
orang yang paling menentang keberadaan dokumen tersebut kemudian memberikan
informasi kepada International Press
Institute (IPI) bahwa Rosihan Anwar telah menandatangani dokumen tersebut.
Akibatnya, Rosihan Anwar untuk sementara waktu dikeluarkan dari keanggotaaan
IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI, Rosihan berkilah bahwa itulah cara
terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak penghalang dan tetap menjaga
agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup (Semma, 2008: p.
105-106).
Jika ditinjau dari pendekatan etika
komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan Anwar termasuk harian yang
dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang dipelajari dalam
pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan
merupakan etika komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde
lama dapat dibedah dari empat bahan pembentuk etika komunikasi.
Pertama, berdasarkan standar moral, pada era orde lama, dapat dilihat bahwa
standar moral atau code of conduct
yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu,
kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan.
Sehingga, para jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup
hebat. Di satu sisi mereka ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai
idealisme mereka masing-masing dan kebebasan pers yang terjamin. Namun, di sisi
lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi materi jurnalistik, jurnalis tidak
lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau mengungkapkan kebenaran
sesungguhnya kepada publik.
Kedua, melalui teori normatif sebagai
perangkat yang menganalisis pola hubungan antar institusi, kita dapat melihat
bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia pada masa orde lama
bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada
pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis
sebagai bagian dari etika komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam
komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada masa itu bisa jadi merupakan
rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya ancaman kehilangan pekerjaan
dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu juga bisa
berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat
tenaga untuk mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan
pemerintah. Terakhir, berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran
intelektual dan pendidikan karakter, jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya
untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak otoritas pemerintah
tersebut.